Tempat ibadah masyarakat India-Indonesia
Di bawah ini adalah tempat-tempat ibadah masyarakat India-Indonesia khususnya yang beragama Hindu dan Sikh.
May, 1942. WWII rages across a world divided.
Sailing across the sea, a Japanese Hell Ship transports prisoners of war (POWs) to occupied territories for slave labour. Onboard the ship is Saito, a traitor to the Japanese who is being sent back to the motherland to be sentenced to death.
As further punishment, Saito is shackled to another POV, a British soldier named Bronson who holds nothing but hatred for Saito because of his Japanese nationality.
When the Hell Ship is torpedoed by Allied submarines, Saito and Bronson are thrown overboard and wash ashore a deserted island. But they are not alone. Bronson and Saito are hunted by a monstrous creature- the Orang Ikan- who will stop at nothing until both men are dead.
Bronson and Saito must put aside their hatred for one another to survive the island and kill the creature before it kills them first.
The film is supported by the Singapore Film Commission (SFC). The creature suit was designed by Hollywood’s acclaimed Special Effects Creator Allan Holt (Jurassic World, Underworld: Blood Wars). Director Mike Wiluan said “rather than create a monster to merely kill without purpose, the Orang Ikan has a motive”.
KOMPAS.com - Ikan dori yang selama ini dimakan orang Indonesia ternyata adalah patin, bukan ikan dori yang yang hidup di laut.
Informasi tersebut disampaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program sosialisasi Gerakan Makan Ikan (Gemarikan) sebagai wadah edukasi kepada masyarakat tentang manfaat makan ikan serta kandungan gizi di dalamnya.
Ikan dori tersebut rupanya adalah merek dagang produk ikan patin fillet dari Vietnam.
"Ini merupakan salah satu praktek mislabelling atau pelabelan nama ikan yang salah. Hal ini bisa dimasukkan ke dalam kategori penipuan terhadap konsumen," ujar Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Nilanto Perbowo mengutip Antaranews.com, Selasa (7/7/2020).
Budaya India-Indonesia
Budaya India-Indonesia adalah budaya hasil akulturasi budaya India dengan budaya Indonesia yang berkembang di Indonesia.
Ikan pangasius Indonesia
Ilustrasi ikan sedang difillet.
Terdapat cara untuk membedakan ikan patin fillet lokal dengan impor.
Dilihat dari warna, ikan patin fillet lokal dagingnya oranye, kekuningan, merah muda, krem dan putih, tergantung jenis dan kondisi lokal ikan berasal.
Sementara patin fillet impor, warna dagingnya sangat putih karena menggunakan zat pemutih.
Warga Indonesia diajak untuk membeli produk patin dalam negeri dengan merek "Indonesian Pangasius-The Better Choice". Ajakan oleh KKP ini telah berlangsung sejak dua tahun lalu.
Pangasius Indonesia dinilai lebih sehat, pasalnya ikan dikembangkan dengan probiotik bukan antibiotik.
Ikan tersebut juga dibudi dayakan dalam kolam air tanah yang bersih dan kepadatan lebih rendah.
Nilanto mengemukakan, ikan patin fillet menduduki posisi sebagai produk populer di retail modern untuk konsumen rumah tangga, industri jasa makanan, hotel, restoran, katering dan penerbangan.
Salah satu sajian dari ikan patin fillet yang kerap disajikan di restoran atau kafe adalah fish and chips.
Baca juga: Resep Fish and Chips, Sajian Seafood Sederhana yang Disukai Anak-anak
Ilustrasi fish and chips saus tartar.
"Kendala utama adalah masyarakat yang sudah terlanjur salah kaprah, ditawarin dori mau tapi begitu ditawarin patin nggak mau. Inilah yang akan kita lurusin," tegas Nilanto.
Menurut Nilanto, edukasi terkait dori dan patin ini sangat penting dilakukan, karena milenial mulai menggemari produk olahan ikan.
Pengelola restoran atau kafe, kata dia, harus memastikan bahwa fillet patin yang diolah adalah patin dalam negeri dan bukan impor dari Vietnam.
Sementara itu, Nilanto menyatakan bahwa kegiatan kampanye Gemarikan juga untuk memperkenalkan keunggulan ikan lokal daripada impor.
"Selain edukasi kita juga mengenalkan kepada masyarakat ikan-ikan lokal Indonesia. Untuk itu setiap bantuan ikan yang kita berikan pasti berupa ikan-ikan lokal baik berupa ikan segar maupun produk-produk olahannya yang diproduksi oleh UMKM setempat," kata Nilanto.
(Pewarta : M Razi Rahman | Editor : Triono Subagyo)
Orang India-Indonesia adalah kelompok masyarakat keturunan India yang tinggal dan menetap di Indonesia. Orang-orang keturunan Asia Selatan lain juga bisa disebut sebagai orang India-Indonesia. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri India, pada Januari 2012, ada 120.000 masyarakat Indonesia keturunan India, dan 9.000 di antaranya adalah warganegara India, yang mereka bekerja dan tinggal di Indonesia.[2] Masyarakat India-Indonesia kebanyakan tinggal di Sumatera Utara, Banda Aceh, Surabaya, Medan dan Jakarta.[3]
Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang bernama "Indonesia Tamil Tamram" yang bergerak dalam pelestarian bahasa dan budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia, dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan kursus bahasa dan budaya, membagikan literatur dalam bahasa Tamil, menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait, seperti debat, drama, tarian, dan musik, mendatangkan artis-artis terkenal dari India dalam bidang tari, musik, drama, dll.[4]
Kelompok suku masyarakat Punjabi dari India Utara banyak terdapat di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll. dan pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang. Banyak dari mereka yang beragama Sikh. Beberapa tokoh terkemuka dari masyarakat ini misalnya adalah Raam Punjabi, raja sinetron Indonesia dan istrinya, Rakhee Punjabi, H.S. Dillon, pakar ekonomi pertanian.Kehidupan masyarakat Indonesia keturunan India dikemas dengan begitu unik dalam serial televisi "Raj's Family" di salah satu stasiun televisi swasta.
Seorang tokoh Punjabi-Indonesia yang sering terlupakan adalah Gurnam Singh, pelari maraton pada era 1960-an yang menjadi pelari tercepat Asia pada Asian Games 1962 di Jakarta.[5] Gurnam Singh juga berasal dari Sumatera Utara.
Orang-orang Gujarati dahulu datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam.[6] Pada saat ini, mereka terkonsentrasi dalam satu wilayah yang dinamakan sebagai Kampung Pekojan.
Selain itu, di Indonesia ada pula kelompok suku masyarakat Sindhi yang juga banyak berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Mereka umumnya bergerak di bidang industri garmen dan tekstil, makanan dan pertanian, perfilman, intan permata dan batu-batu mulia. Masyarakat Sindhi di Indonesia mempunyai organisasi sosial yang bernama "Gandhi Seva Loka" yang banyak memberikan bantuan kepada komunitas mereka sendiri, serta menyelenggarakan proram orang tua asuh secara teratur. Organisasi ini juga menolong kaum fakir-miskin di kalangan masyarakat yang lebih luas, khususnya ketika ekonomi negara dilanda krisis yang berkepanjangan.
Di dalam aktivitas sosialnya, masyarakat India-Indonesia mendirikan sekolah Gandhi International School di Jakarta. Selain itu, ada pula beberapa Gurdwara, yakni tempat ibadah bagi mereka yang beragama Sikh, dan kuil bagi mereka yang beragama Hindu dan Jain.
Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah. Di Bali, misalnya, berbagai sisa keramik sejak abad pertama Masehi telah ditemukan. Malah nama Indonesia sendiri berasal dari bahasa Latin Indus "India" dan bahasa Yunani nêsos "pulau" yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'.
Sejak abad ke-4 dan ke-5, pengaruh budaya India menjadi semakin jelas. Bahasa Sanskerta digunakan dalam berbagai prasasti. Namun sejak abad ke-7, huruf India semakin sering dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa setempat yang kini sudah mengandung banyak kata pinjaman bukan saja dari bahasa Sanskerta, tetapi juga dari berbagai bahasa Prakerta dan bahasa-bahasa Dravida.
Selain itu, masyarakat pribumi Indonesia pun mulai memeluk agama-agama India, khususnya Siwaisme dan Buddhisme. Namun ada pula pemeluk Wisnuisme dan Tantrisme.
Diyakini pula bahwa berbagai penduduk India juga menetap di Indonesia, bercampur gaul dan berasimiliasi dengan penduduk setempat, karena pada abad ke-9 dalam sebuah prasasti dari Jawa Tengah disebutkan nama-nama berbagai penduduk India (dan Asia Tenggara):
Belakangan, dengan bangkitnya Islam, agama Islam pun dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Gujarat sejak abad ke-11, bukan untuk menggantikan sistem-sistem keagamaan yang sudah ada, melainkan untuk melengkapinya.
Pengaruh India di Masakan Indonesia
Pengaruh India terhadap masakan Nusantara, dapat ditelusuri lewat hubungan antara Kesultanan Mughal di India dengan Aceh, sekitar abad 15 hingga abad 16.[9] Beberapa pengaruh Mughal diduga dapat ditemukan dalam masakan yang pedas dan bersantan. Terdapat dua pendapat berbeda soal asal usul rasa pedas ini. Pertama, sumber pedas disebutkan berasal dari cabai yang dibawa oleh bangsa Portugis ke Mughal, hingga sampai ke Nusantara. Kedua, orang India sebenarnya sudah mengenal cabai, jauh sebelum orang Portugis datang.
Masakan Indonesia dengan pengaruh India, diduga terdapat dalam megana atau cacahan sayur nangka, yang masih bisa ditemui di daerah Pekalongan, Wonosobo, dan Temanggung.[9] Masakan ini berada di wilayah-wilayah yang merupakan bekas daerah kerajaan Hindu awal di Jawa, yaitu Kalingga.
Warisan India di Indonesia
Warisan agama Hindu yang masih tersisa di beberapa tempat di Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan, adalah bukti-buktinya.[7] Kisah epos Mahabharata dan kisah klasik Ramayana telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang Indonesia. Banyak nama orang Indonesia yang menggunakan nama-nama India atau Hindu, meskipun tidak berarti bahwa mereka beragama Hindu. Nama-nama seperti "Yudhistira Adi Nugraha", "Bimo Nugroho", "Susilo Bambang Yudhoyono", semuanya mencerminkan pengaruh India yang sangat kuat di Indonesia.
Selain itu di beberapa tempat, tampak sisa-sisa keturunan masyarakat India yang telah berbaur dengan masyarakat Indonesia. Nama-nama keluarga (merga) di kalangan masyarakat Batak Karo, seperti Brahmana dan Gurusinga yang tampaknya berasal dari nama-nama India, menunjukkan warisan tersebut.
Di Jakarta terdapat daerah yang dinamai Pekojan di Jakarta Kota, dan Koja di Jakarta Utara. Kedua daerah ini dulunya adalah pemukiman orang-orang India Muslim yang disebut juga orang Khoja. Mereka umumnya berasal dari daerah Cutch, Kathiawar dan Gujarat. Mereka berasal dari kasta Ksatria. Pada abad ke-14, komunitas ini mengalami perubahan besar ketika seorang mubaligh Persia, Pir Sadruddin, menyebarkan agama Islam di antara mereka dan memberikan kepada mereka nama "Khwaja", dan dari kata ini diperoleh kata "khoja" atau "koja". "Khawaja" sendiri berarti "guru, orang yang dihormati dan cukup berada".[8]